Ads 468x60px

Minggu, Januari 25

SEJARAH AOI (ANGKATAN OEMAT ISLAM) DI KEBUMEN

benarnya terjadi dengan gerakan Angkatan Oemat Islam (AOI) sejauh ini belum terekspos ke publik. Di bangku sekolah menengah, dalam IPS Sejarah maupun PSPB, kita 'dicekoki' AOI tak lebih dari sekedar pemberontakan, 'cabang' DI/TII untuk kawasan Jawa Tengah bagian selatan. Pemahaman sejenis juga bisa dilihat pada para peneliti yang pernah menggeluti persoalan AOI, misalnya alm. Kuntowijoyo (1970) ataupun tesis Danar Widayanta di UI (judulnya Angkatan Oemat Islam 1945 - 1950 : Studi Tentang Gerakan Sosial di Kebumen).

Pusat Penerangan TNI -sebagai lembaga resmi yang menghabisi AOI- bahkan memberikan simplifikasi menggelikan. Dalam Diorama Museum Waspada Purbawisesa disebutkan, AOI mulai melakukan rapat-rapat rahasia pada Mei 1950 sebagai persiapan perlawanan terhadap pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) yang dianggap sudah dipengaruhi tokoh-tokoh komunis. Dari rapat itulah kemudian Batalyon Lemah Lanang, Batalyon 423 dan Batalyon 426 (ketiga batalyon ini awal mulanya berasal dari Laskar Hizbullah Sabilillah) mulai mengganggu keamanan di Kedu Selatan. Tentu saja ini rancu dan menggelikan, mengingat sebagian besar tokoh komunis sudah dihabisi pasca kudeta setengah hati di Madiun, September 1948. Dari cerita perjalanan hidup Letkol. Untung a.k.a Kusman (yang pernah saya paparkan di sini), ataupun kisah Dipa Nusantara Aidit, kita tahu tokoh2 komunis baru mulai bermunculan pasca 1950.

KH. Abdurahman Wahid menyebut pemberontakan AOI muncul akibat kebijakan pimpinan militer (APRIS) pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 yang menghendaki peleburan laskar-laskar perlawanan ke dalam APRIS setelah usainya Perang Kemerdekaan. Namun, peleburan itu disertai embel2, hanya orang2 yang mendapat pendidikan "Sekolah Umum Belanda" saja yang bisa menduduki jabatan komandan batalyon. Syekh Mahfudz Abdurrahman dikatakan berminat terhadap kedudukan komandan batalyon ini, yang akan dibentuk dan bermarkas di Purworejo. Namun Syekh Makhfudz terhadang oleh ketiadaan ijazah yang dipunyainya dan karena itu beliau memilih mengobarkan pemberontakan, terlebih ketika jabatan yang diincarnya jatuh ke anak muda ingusan bernama Ahmad Yani. Dalam uraian berikut, akan kita lihat bahwa alasan semacam ini juga simplistik.

Merujuk penuturan KH Afifuddin Chanif al-Hasani dan KH Musyaffa Ali -masing-masing cucu dan menantu Syekh Mahfudz- akar masalah AOI sejatinya terletak pada kebijakan Rera (restrukturisasi dan rasionalisasi) yang dikumandangkan kabinet Hatta pada 1948 atas usulan Wakil Panglima Besar AH Nasution. Dalam program Rera ini, laskar-laskar perlawanan akan digabungkan menjadi satu ke dalam TNI dan diciutkan personalianya hingga tinggal setengah dari semula. Prioritas ditujukan pada mereka yang mendapatkan pendidikan militer zaman Hindia Belanda maupun Jepang. Sebagai pimpinan badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, dengan massa +/- 10.000 orang dan punya potensi massa tambahan 30.000 orang, Syekh Mahfudz risau dengan kebijakan diskriminatif ini mengingat mayoritas massa AOI memiliki tingkat pendidikan formal rendah dan berbasis pesantren sehingga berpotensi tereliminir karena tak punya ijazah. Meski sebagian besar massa AOI semula merupakan petani, tak pelak bahwa perjalanan Perang Kemerdekaan telah menarik sebagian diantaranya untuk bermobilitas vertikal menjalani karir militer. Keresahan bertambah mengingat pada 1948 itu Indonesia justru masih berhadapan dengan ancaman kekuatan NICA, yang bagi Syekh Mahfudz sangat nyata, mengingat sebagai ketua PPRK (Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen) yang berkedudukan langsung di bawah Bupati Kebumen, beliau langsung berhadapan dengan pasukan NICA di garis demarkasi Sungai Kemit, Gombong timur. Sehingga menurut beliau tidaklah bijak menggagas Rera justru ketika ancaman nyata menghadang di depan mata.

Di diagonal yang berseberangan, keresahan yang sama juga dihadapi faksi sosialis-komunis yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin di Madiun. Namun FDR memilih menyelesaikannya dengan mengobarkan kudeta setengah hati Madiun Affair yang gagal pada September 1948, peristiwa yang menguras energi lasykar-lasykar rakyat dan TNI terlalu banyak untuk menumpasnya. Penumpasan FDR ini membuat Syekh Makhfudz dan PPRK semakin yakin NICA tinggal menunggu waktu saja untuk menjebol garis demarkasi Sungai Kemit dan menyerbu jauh ke Yogyakarta sebagai ibukota RI.

Keresahan Syekh Mahfudz terbukti ketika NICA menggelar kampanye militer Doorstot naar Djokdja pada 18 Desember 1948, yang berhasil menawan Soekarno-Hatta, menghancurkan kabinet Hatta dan membuat TNI serta lasykar-lasykar tercerai berai. Ini menginisiasi masa Perang Kemerdekaan II yang sekaligus membenamkan ide Rera ala Nasution. Dalam periode inilah peranan AOI kian menanjak dalam percaturan politik dan militer di Jawa Tengah.

Perang usai seiring penandatanganan pengakuan kedaulatan di Istana Rijswik, 27 Desember 1949, sebagai realisasi Konferensi Meja Bundar. Ini sekaligus menandai berdirinya RIS dengan APRIS sebagai tentara nasionalnya. Pembentukan APRIS membawa konsekuensi tersendiri bagi AOI seiring kembali mencuatnya isu Rera. Dalam pandangan Danang Widayanta, tawaran APRIS agar AOI bergabung kedalamnya melalui Rera yang diskriminatif berpotensi menghasilkan sedikitnya empat ancaman : ancaman eksistensi organisasi, ancaman kehilangan posisi sosial ekonomis, ancaman kehilangan posisi politis dan ancaman kehilangan posisi budaya. Ini menghasilkan kondisi AOI tidak lagi otonom, tidak lagi merasa aman dalam posisinya dan frustrasi dengan masa depannya. Ini yang membuat Syekh Mahfudz menolak bergabung.

Namun dari penuturan KH Afifuddin dan KH Musyaffa, atas bujukan KH Nursodik dan KH Sururudin (keduanya pimpinan AOI) sebenarnya Syekh Mahfudz telah bersedia berunding dengan APRIS untuk membicarakan kemana AOI hendak diarahkan, mengingat jasanya yang demikian besar. Perundingan mengerucut pada kompromi dengan pembentukan Batalyon Lemah Lanang, yang khusus menampung massa AOI yang diseleksi sendiri oleh Syekh Mahfudz. Syekh Mahfudz sendiri, dengan usianya yang telah mencapai 49 tahun, tidak berminat mengejar posisi komandan batalyon, mengingat dengan kedudukannya sebagai "Rama Pusat", dengan massa AOI dan thariqah Syadzaliyah yang diampunya, beliau sudah menempati posisi natural leader yang kharismanya melampaui batas-batas kabupaten, mengingat pesona AOI juga terasakan hingga Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Purworejo, melebihi formal leader Bupati Kebumen yang waktu itu dijabat R.M. Istikno Sosrobusono. Meski demikian, Kuntowijoyo menyebut Syekh Mahfudz memiliki pandangan apolitis, karena itu tak heran beliau membenci partai politik, termasuk Masyumi.

Tapi persoalan tak usai meski Batalyon Lemah Lanang sudah dibentuk. Sebagai batalyon yang beranggotakan para santri, yang dalam perang kemerdekaan mengumandangkan perang suci (jihad) kepada NICA yang dilabeli kafir, Batalyon Lemah Lanang mengalami gegar budaya ketika harus berbaur dengan unit2 lain dalam APRIS yang notabene sebagian besar berisi perwira hasil didikan Militaire Academie Hindia Belanda. Lebih lagi perwira2 itu umumnya berasal dari kelas bangsawan Jawa, yang sejak kecil dijejali pandangan "Islam adalah problem" warisan Sultan2 dan Sunan2 Mataram. Batalyon Lemah Lanang dianggap kaku dalam berprinsip, radikal dan memiliki sudut pandang selalu hitam putih, sementara Batalyon Lemah Lanang sendiri menganggap unit2 di tubuh APRIS banyak mengadopsi kebiasaan kaum kafir Belanda dan banyak faksi didalamnya yang atheis. Beberapa unit yang dianggap atheis adalah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani di Purworejo, disamping Brigade X / Garuda Mataram yang dipimpin Soeharto di Yogyakarta.

Gegar budaya ini makin melebar dan meluas hingga keluar dari skup Batalyon Lemah Lanang. Sampai akhirnya terjadi ejek2an berujung tawuran antara pemuda2 AOI dengan anggota Batalyon Sudarsono, yang menyebabkan 1 pemuda AOI terbunuh. Akibatnya AOI bereaksi dan inilah yang ditanggapi Kol. M. Sarbini di Magelang sebagai indikasi AOI hendak memberontak, sehingga diperintahkanlah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani menggempur Somalangu.

Tidak tepat jika AOI disebut memberontak. Dalam penuturan KH Afifuddin, KH Musyaffa dan Ibu Zubaidah (keponakan Syekh Mahfudz, kini sudah sangat sepuh), hingga menjelang 1 Agustus 1950 tersebut Syekh Mahfudz sama sekali tidak menyiapkan konsep2 untuk mendirikan negara tersendiri sebagaimana dilakukan SM Kartosuwiryo di Jawa Barat. Meski pernah membicarakan wacana wilayah "Kapoetihan" -semacam Kauman yang diperluas, tempat kediaman orang-orang saleh yang digambarkan menempati daratan sebelah timur Sungai Lukulo hingga perbatasan Purworejo- namun tak ada pembicaraan lebih lanjut, apalagi yang bersifat operasional semacam menyiapkan proklamasi, konstitusi dan angkatan perang tersendiri. Syekh Mahfudz sendiri juga tidak menyiapkan suatu perangkat kaderisasi ataupun suatu exile government andaikata Somalangu sewaktu-waktu diserbu. Beberapa pertemuan memang berlangsung dengan pimpinan Batalyon 423 dan 426 (keduanya sama-sama berasal dari lasykar Hizbullah Sabilillah), namun itu lebih ditujukan pada bagaimana mengantisipasi persoalan di antara sesama lasykar Hizbullah Sabilillah akibat kebijakan Rera yang diskriminatif. Tidak ada pertemuan dengan utusan DI/TII, baik dari Kartosuwiryo sendiri maupun dari wakilnya di Jawa Tengah : Abdul Fattah.

Maka bisa dibayangkan bagaimana kagetnya Syekh Mahfudz ketika Somalangu dikepung rapat pada pagi hari 1 Agustus 1950 dan tanpa ba-bi-bu langsung digempur ala manuver blitzkrieg, tanpa sempat menyiapkan diri. Akibatnya tak ada lagi bangunan di Somalangu, Candiwulan, Candimulyo dan sekitarnya yang masih tegak berdiri. Bahkan masjid kuno berusia 400-an tahun peninggalan Syekh Abdul Kahfi Awwal pun ikut runtuh. Tak ada tempat yang tak terbakar, hingga segala macam jejak tertulis mulai dari arsip2 AOI hingga kitab2 dan kitab suci al-Qur'an pun hangus. Mayat berserakan dimana-mana, mulai dari orang tua, pemuda, ibu-ibu, anak-anak dan bahkan bayi. 1.000-an orang tewas hanya pada hari itu.Tak ada kata yang cocok untuk mendeskipsikan keadaan demikian selain pembantaian teramat keji, yang bisa disetarakan dengan Pembantaian Srebrenica 1995 di Bosnia-Herzegovina.

Meski diserang mendadak, namun Bharatayudha berkobar hingga 3 bulan lamanya. Jika kemudian sisa-sisa Batalyon Lemah Lanang memilih untuk bergabung dengan sisa-sisa DI/TII Abdul Fattah, sisa-sisa Batalyon 426 dan 423 MMC (Merapi Merbabu Complex) di kaki Gunung Slamet, pilihan ini diambil pasca tertembak dan wafatnya Syekh Mahfudz di Gunung Selok, Cilacap. Dengan kondisi organisasi AOI berantakan, pemimpin tertingginya wafat dan tak ada yang kader bisa menggantikan kharismanya, dengan Somalangu dan Kebumen timur sudah diobrak-abrik amunisi APRIS, tanpa ada tawaran rekonsiliasi dan amnesti agar bisa kembali ke masyarakat sebagai orang baik-baik, serta jikalau menyerah pun akan masuk Nusakambangan tanpa diadili (seperti dialami ratusan massa AOI yang memilih menyerah), maka dalam pandangan saya tak ada pilihan lain yang logis rasional kecuali menyelamatkan diri, bergabung dengan saudara senasib sepenanggungan dan terus bertempur, meski tak jelas lagi bertempur untuk apa.

Pembantaian Somalangu menandai satu babak baru di kalangan pemerintah RIS / NKRI tentang bagaimana menyikapi dan menyelesaikan perbedaan pendapat dengan cara hantam kromo (main pukul rata). Pasca AOI, di Jawa Tengah, giliran MMC digempur. Di Jawa Timur, satu Batalyon pimpinan KH Yusuf Hasyim (saat itu berpangkat Lettu) pun turut diberangus dengan tuduhan DI/TII dan komandannya ditahan berbulan-bulan tanpa diajukan ke pengadilan. Di Kalimantan Selatan, Ibnu Hadjar dengan KRJT-nya (Kesatoean Rakjat Jang Tertindas) dilucuti dan dituduh DI/TII pula, sementara di Sulawesi Selatan, usulan Abdul Qahhar Muzakar agar lasykar-lasykar asal Sulawesi Selatan yang telah dihimpun menjadi satu dalam KGSS (Keluarga Gerilja Soelawesi Selatan) direkrut ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin ditolak dan digempur seperti AOI. Ini menyisakan trauma dan dendam berkepanjangan. Maka tidak heran jika Dr. Tgk Muhammad Hasan di Tiro, ketika mendirikan Gerakan Atjeh Merdeka pada 1976, merujuk terjadinya "pembantaian oleh bangsa sendiri" sebagai latar belakang.

Yang jelas, pasca AOI, aparat administrasi Kebumen maupun Jawa Tengah tidak belajar lebih jauh dari peristiwa AOI dan lebih memilih melakukan isolasi sosiologis-politis dengan labelisasi "ekstrim kanan" dan "bagian DI/TII" kepada sisa-sisa AOI, garis keturunan Syekh Mahfudz, maupun penduduk Somalangu dan sekitarnya, tanpa tawaran rekonsiliasi. Dengan bupati2 yang mayoritas militer aktif, berasal dari luar Kebumen, tidak belajar lebih lanjut tentang sosiologi masyarakat setempat, terkooptasi dengan Golkar, berpandangan kaku dan main hantam kromo, ini berpuncak pada munculnya peristiwa kelam selanjutnya : Kerusuhan 7 September 1998. Sisa-sisa AOI memang tidak terlibat dalam peristiwa ini, bahkan barisan ulama yang dulu berafiliasi ke AOI justru menjadi penengah yang berhasil meminimalisir jumlah korban.

Salam,


Ma'rufin


From: slamet -
To: karanganyar- kebumen@yahoogro ups.com
Sent: Tuesday, December 9, 2008 1:09:49 AM
Subject: Bls: [karanganyar- kebumen] Re: Pengin tahu sejarah AOI (Angkatan Oemat Islam) di Kebumen

Pak Lurah, Ngomong ngomong Somalangu Aku mandan Mrebes Mili Kelingan Anak Pak Lurah, Anakku sing Pertama nang Kana wis 6 wulan

Konon Cerita Dari Romo Kyai Haji 'Afifudin Alhasani, Masjid Somalangu sudah berumur 523 tahun kalau nda saya salah dengan dan belom pernah di renofasi sampe dengan saat ini,


Slamet


--- Pada Sel, 9/12/08, marsikin menulis:

Dari: marsikin
Topik: Bls: [karanganyar- kebumen] Re: Pengin tahu sejarah AOI (Angkatan Oemat Islam) di Kebumen
Kepada: karanganyar- kebumen@yahoogro ups.com
Tanggal: Selasa, 9 Desember, 2008, 2:22 AM

Matur nuwun Pak Ma'rufin Sudibyo.
Jian dadi gamblang banget, "nglothok" banget kaya rambutan Aceh.

Sejarah, bagi bekas murid yang malas seperti saya menjadi sesuatu yang membosankan, akan tetapi ketika Sejarah berbicara menyinggung tokoh yang sering saya lihat ketika masih hidup (Bapak K.H. Umar Nasir, Candi) atau menyingkap tragedi wonge dhewek menjadi sangat menarik, penasaran ingin tahu apa lagi jaman saya sekolah dulu rentetan sejarah AOI tidak dimasukan dalam Sejarah.

Sebelumnya saya mendengar istilah AOI yakni cerita dari mulut ke mulut orang tua di desaku (Sidoagung-Sruweng) , sebelum saluran Irigasi Waduk Sempor yang melintasi desaku dibangun tahun 1976, dipinggir jalan ada sebuah kuburan, konon kuburan tersebut merupakan korban penembakan dari Tentara. Nama korban tersebut Kayun kata orang -orang tua desaku, dia bukan ulama atau orang yang terlibat dengan Peristiwa AOI, melainkan "wong gemblung" tapi setengah waras. Konon Kayun adalah seorang santri yang gagal dari pesantren karena tidak kuat mempelajari "Kitab kuning" yang diajarkan oleh Kiai-nya.
Pada ketika TNI mengadakan pengejaran sampai desaku ketemu Kayun yang berpakaian ala santri, padahal masyarakat umumnya para petani pada waktu itu tidak pernah pakai baju kecuali hanya pakai celana "komprang item"
Dan menurut saksi yang melihat dari kejauhan Kayun diinterogasi dengan pertanyaan:" Kowe AOI apa udu?"
Kayun menjawab:"saya AOI"
Tentara langsung membrondhong Kayun "drodor, dor, dor"
Saat itu orang-orang desa sudah pada ngungsi ke daerah Kembang Abang-Giripurno (pegunungan) desa-desa sepi. Mayat Kayunpun hanya dikubur tanpa kain kafan dipinggir jalan meskipun kuburan"Dawa" hanya beberapa puluh meter dari tempat kejadian.
Ketika Saluran Irigasi Sempor dibangun makamnya Kayun dipindahkan ke kuburan "Dawa"
Dari sinilah awalnya saya mendengar istilah AOI
Setelah membaca Sejarah tulisan Pak Ma'rufin saya baru "ngeh"
ternyata "Kebumen ora baen-baen kawit jaman gemien"
Wassalam
"Q Lurah"



--- Pada Sab, 6/12/08, Ma'rufin Sudibyo menulis:

Dari: Ma'rufin Sudibyo
Topik: [karanganyar- kebumen] Re: Pengin tahu sejarah AOI (Angkatan Oemat Islam) di Kebumen
Kepada: karanganyar- kebumen@yahoogro ups.com, "Kebumen" , "Alumni SMA 1 Kebumen"
Cc: "Iffah" , "Rovicky Dwi Putrohari" , "Sulistyowati" , "Ihda" , "Dra. Hj. Sri Riastuti"
Tanggal: Sabtu, 6 Desember, 2008, 7:18 AM

Sing ditunggu soal sinden, malah Q-Lurah takon AOI...

Angkatan Oemat Islam (AOI) itu suatu gerakan Islam modern yang -meski cenderung revivalis- namun punya potensi besar untuk berkembang dan bersejajar dengan gerakan modern seperti NU maupun Muhammadiyah. Hanya saja, gerakan AOI terlanjur abortif, dalam istilah (alm) Kuntowijoyo, gerakan yang mati muda sebelum gejala-gejala dan tanda-tandanya sempat terucapkan. Namun yang jelas, AOI tidak bisa dilepaskan dari Pesantren al-Kahfi Somolangu. Kebetulan saya kenal baik dengan sebagian keluarga inti Somolangu, ditambah dengan paparan pak Kuntowijoyo (Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam, Bandung : Mizan) yang aslinya dipaparkan dalam Seminar Sedjarah II tahun 1970, maka kita bisa memperoleh gambaran bagaimana AOI dan Somolangu ini sebenarnya.

Pesantren Somolangu itu pesantren tertua di Kebumen,bahkan di tlatah Jawa Tengah bagian selatan. Selain Somolangu, pesantren tua lain di sini adalah Pesantren Lirap Petanahan dan Pesantren Salafiyyah Wonoyoso. Namun K.H. Ibrohim Nuruddin baru mendirikan Lirap di awal abad ke-20 dan K.H. Nasuha meletakkan pondasi Salafiyyah pasca kepulangannya dari Makkah bersama K.H. Hasyim Asy'ari (pendiri NU) di awal abad ke-20 juga. Sementara Somolangu didirikan jauh hari sebelumnya, yakni pada ± 1000 H atau 1590 M oleh Syekh Abdul Kahfi Awwal, ulama Hadramaut yang merantau ke Jawa menyokong eksistensi Kerajaan Islam di Jawa dan selanjutnya bermukim di lembah Sungai Kedungbener. Jejak2 arkeologis menunjukkan lembah ini telah dihuni manusia sejak abad ke-8 M, ditandai keberadaan sepasang yoni dan sejumlah lingga dari batu andesit berlanggam Jawa Tengahan (ciri khas abad ke-8 M) yang terpreservasi dengan baik. Lingga dan Yoni, sebagai simbol kesuburan, diketahui hanya didirikan oleh komunitas Hindu (Syiwa) yang besar dan telah menjadikan tempat tersebut sebagai hunian tetapnya. Maka ada asumsi, komunitas Hindun yang terorganisir itulah yang ditemukan Syekh Abdul Kahfi Awwal dan diislamkan

Syekh Kahfi Awwal terkenal egaliter, bahkan konon sampai sekarang meski beliau sudah wafat ratusan tahun silam. Ada cerita tiap kali makamnya yang terletak di Bukit Lemah Lanang (± 2 km sebelah timur Mapolres Kebumen) hendak diberi cungkup atau tetenger seperti umumnya makam2 lainnya, upaya itu tidak pernah berhasil. Cungkup/tetenger selalu ditemukan sudah 'terbang' ke persawahan di sebelah baratnya. Bukit Lemah Lanang sendiri -menurut dugaan saya, meski sangat lemah- kemungkinan dulu bekas candi.

Menurut cerita, nama Somolangu diberikan oleh Raden Patah (Sultan Alam Akbar al-Fatah) dari kerajaan Demak Bintoro, yang mengatakan "tsumma dha'u" (artinya disinilah tempatmu) ketika menghadiahkan tanah di lembah Sungai Kedungbener itu kepada Syekh Kahfi,namun nang ilate wong Jawa (apamaning wong Kebumen) berubah jadi "Samalangu", dan akhirnya jadi "Somolangu" malah kadang jadi "Semlangu". Tapi dalam konteks sejarah, cerita ini rancu, soale Sultan Demak ketiga saja, yakni Sultan Trenggono, telah wafat pada 1546 M saat penyerbuan Pasuruan. Setting waktu yang lebih rasional mengaitkan berdirinya pesantren al-Kahfi Somolangu dengan akhir dinasti Pajang (Sultan Hadiwijaya) ataupun Mataram Islam awal (mungkin era Panembahan Senopati ataupun Panembahan Ratu/Panembahan Seda ing Krapyak).

Maka usia Somolangu jauh melampaui Kebumen sendiri. Bahkan dalam Babad Kebumen disebutkan, Joko Sangkrip, yang kelak menjadi KRT RAA Aroengbinang I yang keturunannya menjadi bupati2 Panjer/Kebumen sejak 1833 hingga masa Perang Dunia II, ikut nyantri di Somolangu di bawah asuhan Syekh Abdul Kahfi Awwal ini (meski diceritakan Joko Sangkrip ini santri mbeling sontoloyo gemaguse babar blas tukang ngintip wong wadon adus).

Ketika Perang Dunia I berkecamuk, Somolangu mengambil inisiatif berpartisipasi dengan membantu Kesultanan Utsmaniyah Turki (Turki Ottoman). Namun panggung sejarah Somolangu dalam konteks Indonesia Modern, lebih terpapart ketika terjadi peristiwa Angkatan Oemat Islam (AOI) yang menggetarkan pada 1950. AOI ini badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, didirikan tahun 1945, beranggotakan ± 10.000 orang dari Kebumen timur, Purbalingga, Wonosobo dan Purworejo yang menjadi anggota jaringan tarekat Syadzaliyah yang berpusat di pesantren al-Kahfi Somolangu. Koordinasi dilakukan oleh Syekh Mahfudz Abdurrahman, pengasuh ponpes saat itu, yang digelari "Rama Pusat", dengan pelaksana teknisnya K. Sururudin. K. Sururudin ini bapake K.H. Nashiruddin al-Manshur (bupati Kebumen saat ini). Badan ini lalu bergabung dalam pasukan Hizbullah-Sabililla h yang dibentuk ulama-ulama Indonesia dalam upaya mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 dan sempat bertempur habis2an melawan tentara Inggris dan NICA dalam Palagan Ambarawa dan Peristiwa 10 November 1945 Surabaya.

Ketangguhannya teruji ketika AOI (sebagai badan terbesar) berhasil mencegah Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947 bergerak ke Yogya sehingga memaksa Panglima NICA, Jendral Spoor dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, Dr. H.J van Mook, membikin garis demarkasi di Sungai Kemit - Gombong, guna menghindari jatuhnya korban tentara NICA lebih besar. Memang garis van Mook ini bobol dalam kampanye militer Doorstot naar Djokdja alias Agresi Militer II 18 Desember 1948, namun pasukan khusus NICA menghadapi perlawanan sangat gigih pejuang Hizbullah-Sabililla h bersama TNI, yang jejak2nya muncul sebagai Palagan Sidobunder, Monumen Kemit dan juga Monumen Jembatan KA Luk Ulo (di barat RSU Kebumen). Meski berhasil menguasai Kebumen dengan bermarkas di Gedung Gembira (dekat Stasiun KA Kebumen), pasukan elit Gajah Merah dan Anjing Hitam NICA tidak pernah bisa menganeksasi Somolangu, meski pondok itu hanya berjarak 2 km dari jalan utama Kebumen - Purworejo. Demikian juga tentara kolonial Hindia Belanda, seabad sebelumnya, yang tak pernah bisa mengontrol Somolangu meski telah mendirikan Benteng Wonosari (sebagai bagian dari sistem benteng stelsel ala de-Kock) di era Perang Diponegoro, yang letaknya bahkan hanya berseberangan sungai terhadap pesantren al-Kahfi.

Meski bertempur bersama, pada periode 1947 - 1948 ini bibit2 pertengkaran AOI dan TNI mulai muncul. TNI - yang didominasi priyayi2 Jawa abangan - menganggap AOI lebih sering menimbulkan masalah, pandangan yang mungkin diturunkan dari Amangkurat I (yang pernah membantai ± 6.000 ulama Kajoran di alun-alun Plered pasca konflik dengan Pangeran Pekik). Yel2 "Allahu Akbar" yang diteriakkan AOI kala melakukan serangan dianggap membuat tentara NICA lebih mudah mengenali sasarannya. Sementara AOI - yang puritan dan mencoba melakukan purifikasi meski tidak seradikal Wahhabi - menganggap perilaku anggota TNI itu 'tidak Islami.' Ada isu pula, pasca Perang Kemerdekaan, AOI dianggap hendak mendirikan suatu "Keputihan", yakni wilayah orang2 saleh yang lokasinya mulai dari Sungai Lukulo hingga batas Kebumen - Purworejo. Namun, walo bermasalah dengan TNI, AOI -khususnya Syekh Mahfudz- menjadi pendukung bahkan berhubungan sangat erat dengan Presiden Soekarno. Soekarno sendiri pula yang menjanjikan AOI "tidak akan diapa-apakan. "

Pertengkaran makin menjurus parah pasca Konferensi Meja Bundar, dimana TNI dan badan2 kelasykaran harus dilebur ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). TNI menghendaki AOI diseleksi sebelum memasuki APRIS, sementara Syekh Mahfudz menghendaki AOI langsung masuk. Sebagai kompromi dibentuklah Batalyon Lemah Lanang untuk mengakomodasi pemuda2 AOI yang berminat masuk APRIS. Namun Batalyon ini terasing, terisolir dan tidak disukai di kalangan APRIS yang mayoritas berasal dari TNI.

Namun pertengkaran dengan TNI berubah menjadi permusuhan terbuka di akhir Juli 1950 kala beberapa personel TNI menggebuki anggota Batalyon Lemah Lanang sampai tewas. Aksi itu dibalas pada 31 Juli saat pemuda2 AOI gantian menggebuk personel TNI yang sedang lewat dengan jipnya, juga sampai tewas. Peristiwa ini dianggap sebagai perlawanan, sehingga sore itu juga Syekh Mahfudz diminta datang menghadap Kol. Sarbini di Markas APRIS Magelang. Syekh berjanji esok paginya akan datang menghadap, mengingat hari itu sudah sore dan transportasi sulit. Namun APRIS menganggapnya sebagai pembangkangan sehingga pagi 1 Agustus 1950 itu juga APRIS sudah mengepung Somolangu dan Syekh Mahfudz diultimatum untuk menyerah.

Maka berlangsunglah Bharatayudha. Somalangu dan desa2 disekitarnya menjadi merah berkuah darah, hancur lebur digempur bangsa sendiri. APRIS mengerahkan pasukan besar bersandi "Kuda Putih" (kelak menjadi Yon 404 /Para Banteng Raiders) dibawah pimpinan Kol. Achmad Yani dengan tugas melakukan stelling, menghancurkan segala jenis bangunan yang berdiri di Somolangu dan sekitarnya tanpa peduli apapun isinya. 1.000-an orang tewas hanya di hari itu, dengan total korban keseluruhan 2.000-an jiwa selama perang saudara berkobar 3 bulan. M. Sarbini dan Achmad Yani mengumumkan AOI terkait dengan DI/TII-nya Kartosuwiryo di Jawa Barat, hal yang tak masuk di akal mengingat Syekh Mahfudz tidak kenal dan tidak pernah berhubungan dengan Kartosuwiryo, baik secara langsung ataupun lewat wakilnya di Jawa Tengah (Abdul Fattah, yang mengobarkan perlawanan di Brebes - Tegal - Pemalang). M. Sarbini juga memindahkan ibukota kabupaten ke Karanganyar dan mengorganisir ulama2 Kebumen barat, sehingga muncul nama K.H. Umar Nasir Candi dan K.H. Makmur Tejasari yang "memberikan" legitimasi menggempur Somalangu.

Batalyon Lemah Lanang dan Pasukan Kuda Putih terlibat baku tembak jarak dekat nan dahsyat di sekitar lokasi Mapolres Kebumen sekarang. Konon demikian brutal aksi pasukan Kuda Putih, sehingga Syekh Makhfudz mengucapkan 'kata kutuk' : kelak Achmad Yani bakalan mati menyedihkan.

Akibat kebrutalan ini dan demi menghindari korban lebih besar, Syekh Makhfudz memutuskan menyingkir dari Kebumen dan berhijrah ke barat, tempat dimana Bandayudha leluhurnya merantau. Namun pada kontak senjata di Gunung Selok (Srandil) Cilacap, Syekh tertembak, meninggal dan dimakamkan di tempat itu. Menjadi ironi bahwa di kemudian hari Gunung Selok ini justru menjadi tempat pertapaan favorit politisi dan petinggi2 militer, termasuk sang big-boss - Soeharto, yang sampe2 membangun helipad khusus.

AOI langsung padam setelah wafatnya Sykh Mahfudz. namun AOI masih menjadi isu sensitif hingga dekade 1970-an. dari cerita (alm) K.H. Durmuji Ibrohim -pengasuh ponpes Lirap hingga 1989- di awal dekade 1970-an itu beliau bersama-sama ulama-ulama kritis Kebumen lainnya sempat diamankan di Makodim selama beberapa bulan, karena isu AOI kembali menghangat dan dikelompokkan ke dalam kutub "ekstrem kanan". Ada juga upaya pengingkaran, yang berlangsung secara sistematis hingga masa kepemimpinan Amin Sudibyo di Kebumen. sebagai contoh, hari lahir Kebumen ditetapkan 1 Januari karena masalah ini, meski banyak bukti menunjukkan sebaiknya menggunakan tanggal berdirinya kadipaten Sruni atau Somolangu sebagai acuan waktu berdirinya Kebumen, karena merujuk runtutan (time-seriesnya) memang seharusnya demikian.

Namun kini stigma ekstrem kanan itu mulai pupus, seiring naiknya K.H. Nashiruddin al-Manshur ke tampuk Bupati Kebumen. Walopun, tak banyak yang mau berbicara atau menyinggung- nyinggung AOI. Satu2nya ilmuwan yang berani meneliti AOI secara komprehensif hanyalah (alm). Kuntowijoyo.

8 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalam mu'alaikum wr.wb.

Sungguh informasi yang sangat berharga tentang Ponpes somolangu dan AOI terhadap perjuangan bangsa ini melawan penjajah Belanda di Kebumen dan tuduhan keji TNI pada saat itu.

Sebelumnya saya mendapat cerita tentang perjuangn AOI dan santri-santri Somolangu dari cerita-cerita orang tua (Pak'de saya almarhum dan ayah saya sendiri)hanya sedikit sekali, namun setelah membaca artikel/blog ini wawasan saya bertambanh luas dan timbul kebanggaan sebagai putra Kebumen.

Saya adalah putra Kebumen asli yang lahir di Kebumen dan besar di Jakarta yang sedang giat mencari info tentang perjuangan santri somolangu di masa pasca kemerdekaan untuk mengerti sejarah Ponpes Somolangu. Kebetulan kakek saya, Kyai Kusaeri (alm) adalah salah satu murid kesayangan Syeikh Mahfudz. Dan putra-putra alm. kakek saya semuanya 5 orang 3 diantaranya adalah pejuang AOI sekaligus santri Somolangu kini telah meninggal dunia(pada saat itu usia mereka berkisar 17 tahunan), sedangkan ayah saya pada saat itu sekitar 11 tahunan tidak ikut berjuang dan sekarang adalah pensiunan Bank Indonesia sejak tahun 1995. Saat ini kerabat kami masih banyak yang tinggal di Jl. Tentara Pelajar, Panggel, Kebumen dan seringkali kami mengunjunginya.

Saat ini saya adalah pegawai pada salah satu bank pemerintah sedang di tugaskan di Kediri, Jatim.

Kepada yang memliki info-info tentang Somolangu, Sheikh mahfudz, AOI dan sebagainya mohon kiranya dapat juga diinformasikan melalui blog ini atau dikirimkan ke email saya dmahfudin@yahoo.co.id, dan kepada pengasuh blog ini saya ucapkan terima kasih.

Wassalam


Mahfudin

(Nb : Nama saya adalah pemberian kakek saya yang di ambil dari nama gurunya yang sangat dikaguminya yaitu Sheikh Mahfudz)

Anonim mengatakan...

salam lekoom, selamat iedul fitri 1432h. alkamdulillah, lantaran telmi dan gaptek, saya baru hari ini menemukan tulisan yang bisa kojah tentang peran umat islam dalam perang kemerdekaan, khususnya tentang AOI dan batalyon 426. matur nuwun mas/om/pak/dik.

Unknown mengatakan...

jian inyong ketinggalen banget infone ya, pdahal inyong lair, gede lan manggon nang somalangu tepate sekulon jembatan gantung, selore ponpes al falah,pdahal jga mbiyen mbahku Alm. H. Abdurohim (Mohammad Sarbini) gemiyeni ya melu gabung meng AOI,tpi kenangapa Mbahku ra tau nyritakna sing sebenere tentang AOI,apa krana wektu kuwe inyong tasih cilik apa ya...inyong jga matur nuwun banget kanggo kang ngdimin Blog kiye sing ws gawe postingan tentang sejarah AOI,moga" bae kena nggo nglurusaken Sejarah AOI bene bener,inyong ya miris dewek ngger AOI kiye di cap sebagai pemberontak, ngantek di lebokna nang pelajran PSPB lan nang mata kuliah Sejarah nang AKMIL magelang

Anonim mengatakan...

NUMPANG COPY
TERIMA KASIH INFONYA

Unknown mengatakan...

terimakasih telah menambah wawasan tentang sejarah kebumen yang tersembunyi.

Anonim mengatakan...

Assalmu'alikum wr wb. Trims ats kisah AOI. Saya pernah dengar kisah tsb, pada saat terjadinya perstiwa itu,bersamaan dengan peristiwa bat 426 didaerah saya, dimana masjid dikampung saya dibakar tentara karena dituduh sbg markas mujahid2 426. Saat itu Ulama, Kiai dan Mujahid sll difitnah dan didholimi oleh penguasa, bahkan sampai kinipun para Ulama, Kiai, Utadz dan Ummat Islam sll difitnah dan didholimi. dipenjara sampai ada yg dihukum mati. Ingat kasus Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Ustadz Luthfi Hasan Ishak dan lain2. Namun semua itu jangan membikin kita gentar dan galau, karena Allah sll bersama kita. Al Islamu Ya'lu wa laa yu'la 'alaik. Saya masih ingat betul peristiwa2 itu (AOI dan 426) karena umur saya waktu itu sekitar 13 tahunan. Tapi kita tidak boleh berhenti hanya sampai pada mengetahui/mengerti sejarah para Ulama, Kiai, Ustadz dan Mujahid2 itu saja namun kita hrs berikrar utk meneruskan dan melanjutkan jihad mereka sampai Allah memanggil kita. Amin.

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum wa wb. Kt wajib ambil i'tibar dari peristiwa AOI, 426,sm kartosuwirja, a kahar muzakar dsb akrena sejak dahulu ummat islam sll difitnah dan didholimi oleh rezim penguasa. Sampai skrg hal itu masih terjadi. Ingat kasus Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dan Ustadz Luthfi Hasan Ishak yg difitnah tapi ndak pernah terbukti. Anak cucu kita harus mengetahui hal itu dan harus meneruskan dan melanjutkan jihad beliau2 sampai Allah memanggil kita dalam keadaan Husnul Khotimah. Ingat Rosulullah saw bersabda : Al Islamu Ya'lu wa laa yu'la 'alaik.

Anonim mengatakan...

ijin share pak... nuwun...

Posting Komentar