Ads 468x60px

Kamis, November 11

Menulis Jadi Kebutuhan Pokok

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم Wacana mengenai gerakan menulis terus digulirkan mahasiswa dan untuk mahasiswa. Wacana itu dilontarkan secara lisan, tulisan, atau disampaikan melalui media massa.Menulis jadi penting bagi mahasiswa, karena melatih dan mengonstruksi pemikiran agar lebih kritis dan kreatif.Itu membuat tulis-menulis penting disematkan pada mahasiswa yang notabene calon pemimpin bangsa. Menulis juga tolak ukur bagi kemampuan dan pengetahuan mereka dalam meneruskan atau mengubah masa depan.Gerakan menulis terus digulirkan mahasiwa yang sadar diri akan keadaan mahasiswa di sekitar yang enggan menulis. Keengganan itu diperkuat berbagai dalih. Dalih mereka ungkapkan secara kuat, namun tak wajar. Dan, dalih “keengganan” menulis dikaitkan dengan keadaan psikologis, ekonomis, sosial, dan budaya.
Kemauan dan kemampuan menulis mahasiswa yang masih rendah bukan hanya karena ketenangan untuk tak mengucap diri secara lisan dan tulisan. Namun, mahasiswa belum “mau” mengajukan dan mengeksplorasi pertanyaan yang berkait dengan ruang dan waktu. Kalaupun mau dan mampu mengajukan pertanyaan, mahasiswa enggan mencari informasi yang berhubungan dengan pertanyaan itu.Memprihatinkan Padahal, itu kebutuhan vital bagi mahasiswa yang hendak menulis.
Melahirkan karya tulis memang sangat penting di lingkungan kampus. Sebab, mutu pendidikan setiap lembaga perguruan tinggi didukung integritas ilmiah mahasiswa dan dosen. Mahasiswa dan dosen adalah satu kesatuan dengan peran aktif yang tak bisa dipisahkan demi memajukan perguruan tinggi. Karena itu salah satu pemacu dan indikasi perguruan tinggi dikatakan maju atau tidak dapat dilihat dari kreativitas tulis-menulis di kampus tersebut.
“Produksi” tulis-menulis bisa mewujud dalam olah karya tulis yang terpublikasi, baik buku, jurnal, majalah dinding, maupun media massa (koran). Iklim intelektualisme di kampus sejatinya dibangun secara serempak dengan melibatkan kreativitas dari pelbagai unsur penting sumber daya manusianya. Tak hanya mahasiswa yang dituntut berkreatif menulis — sebagaimana selalu “diceramahkan” di kelas. Dosen juga perlu banyak menulis di pelbagai media.Seraya memantapkan hati dan pikiran, Mari bergegas menulis. Tuangkan segala yang ada di benak dan kepala ke dalam tulisan. Tak perlu berdalih “aku tidak bisa”. Semua pasti bisa, jika ada kemauan dan keberanian mencoba. Bukankah kegagalan dalam bereksperimen yang baik tidak berdosa?.
Manusia,menurut pendapat Feby Indriani (2006), memang makhluk yang suka berdalih. Ada tiga kelompok yang paling ahli berdalih, yakni pengacara, pengutang, dan orang yang ingin menulis.Pengacara dibayar karena kemampuan mereka berdalih.Pengutang menggunakan kemampuan berdalih untuk menghindari kewajiban membayar.Dan, sepertinya cuma kelompok ketiga yang tak memperoleh apa pun dari berdalih, selain perasaan gagal dan makin tak berdaya.Feby menuturkan begitu banyak orang menyatakan ingin menulis. Begitu banyak pula alasan mereka berikan untuk menjawab pertanyaan: mengapa belum juga menulis. Jadi, sebenarnya, tak ada alasan untuk tidak menulis.

Menulis apa saja! “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Itulah sebuah hadis yang sering kita dengar. Perintah teologis itu diperkuat oleh kata-kata iqra (bacalah) dalam salah satu ayat di kitab suci. Sebab, dengan menulis ada dua hal secara bersamaan mesti diperoleh sang penulis: bernalar kritis dan giat membaca.

0 komentar:

Posting Komentar