Ads 468x60px

Selasa, Januari 25

Bodoh dan Pinter

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم


Ada sesuatu yang menarik, ketika berdiskusi dengan mereka-mereka pelaku bisnis di Marketing Leadership Club, tentang orang bodoh dan orang pinter. Kira-kira anda termasuk kategori yang mana ya? Coba kita telaah beberapa statemen ringan ini:

Orang bodoh sulit dapat kerja, akhirnya dibisnis. Agar bisnisnya berhasil, tentu dia harus rekrut orang Pintar. Walhasil Bosnya orang pintar adalah orang bodoh.

Orang bodoh sering melakukan kesalahan, maka dia rekrut orang pintar yang tidak pernah salah untuk memperbaiki yang salah. Walhasil orang bodoh memerintahkan orang pintar untuk keperluan orang bodoh.

Orang pintar belajar untuk mendapatkan ijazah untuk selanjutnya mendapatkan kerja. Orang bodoh berpikir secepatnya mendapatkan uang untuk membayari proposal yang diajukan orang pintar.

Orang bodoh tidak bisa membuat teks pidato, maka disuruh orang pintar untuk membuatnya.

Orang Bodoh kayaknya susah untuk lulus sekolah hukum (SH) oleh karena itu orang bodoh memerintahkan orang pintar untuk membuat undang-undangnya orang bodoh.

Orang bodoh biasanya jago cuap-cuap jual omongan, sementara itu orang pintar percaya. Tapi selanjutnya orang pintar menyesal karena telah mempercayai orang bodoh. Tapi toh saat itu orang bodoh sudah ada diatas.

Orang bodoh berpikir pendek untuk memutuskan sesuatu di dipikirkan panjang-panjang oleh orang pintar, walhasil orang orang pintar menjadi staffnya orang bodoh.

Saat bisnis orang bodoh mengalami kelesuan, dia PHK orang-orang pintar yang berkerja. Tapi orang-orang pintar DEMO, Walhasil orang-orang pintar meratap-ratap" kepada orang bodoh agar tetap diberikan pekerjaan.

Tapi saat bisnis orang bodoh maju, orang pinter akan menghabiskan waktu untuk bekerja keras dengan hati senang, sementara orang bodoh menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan keluarganya.

Mata orang bodoh selalu mencari apa yang bisa di jadikan duit. Mata orang pintar selalu mencari kolom lowongan perkerjaan.

Bill gate (Microsoft), Dell, Hendri (Ford), Thomas Alfa Edison, Tommy Suharto, Liem Siu Liong (BCA group). Adalah orang-orang Bodoh (tidak pernah dapat S1) yang kaya. Ribuan orang-orang pintar bekerja untuk mereka. Dan puluhan ribu jiwa keluarga orang pintar bergantung pada orang bodoh.


___________
Jack Febrian -- Dosen dan Penulis buku-buku Teknologi Informasi..

Rabu, Januari 19

Komersialisasi Pendidikan Tinggi

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research & Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian.

Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.

Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi, sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.

Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.

Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja.

Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik.

Ini adalah cermin dari proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.

Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi komoditi bisnis semata.

Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.

Selasa, Januari 18

Punya Tapi Tidak Memiliki

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

Kalau dipikir-pikir, memangnya kita punya apa? Yang benar-benar punya kita. TV yang kita miliki memang punya kita, kita bisa menggantinya sesuka kita, kita bisa mengubah-ubah bentuknya seperti yang kita inginkan sesuai dengan kemampuan keuangan yang kita miliki. Kita bisa menghidupkan dan mematikan. Untuk mendapatkan dan meng-upgradenya pun. Tinggal berusahalah!

Lalu, bagaimana misalnya dengan tubuh ini? Yang selalu bersama kita semenjak lahir hingga sekarang ini? Mmm… waktu lahir, sudah ada di diri kita, kita sebagai pemilik taunya langsung ada, dan gratis. Kita bisa merawatnya, mungkin juga bisa 'menggantinya'. Tak satu pun orang lain bisa meng-klaim bahwa tubuh kita ini milik orang lain.

Namun kita tidak bisa berbuat banyak seperti halnya terhadap material lain seperti TV tadi, seperti upgrade hidung, pertumbuhan tinggi badan, denyutan jantung, dan bahkan berhenti diluar kemampuan kita (yang mengklaim benar-benar bukan orang lain memilikinya!).

Lalu yang kita punya apa? Jelas-jelas 'sesuatu itu' selalu ada pada kita tapi ga bisa apa-apa! Punya tapi tak memiliki.

Sabtu, Januari 15

Cuaca Extrem Merusak Papan Nama Kampus

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
Hem.....!!!Mudah mudah ini bukan pertanda....buruk Kampus Kita...

Jumat, Januari 14

Mother is the best super hero in the world.

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

Ada perayaan penting tiap bulan desember ,Ya tepatnya perayaan hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 desember.Tulisan ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi rekan -rekan netter semua.Dan mungkin bisa sebagai bahan interopeksi diri agar kita selalu hormat dan menghargai jasa seorang Ibu,karena Syurga ada ditelapak kaki Ibu.Mumpung Ibu Masih ada, coba saat BELIAU tidur saat matanya terpejam kamu tatap wajahnya itu 5 menit saja, kamu akan tau bagaimana rasanya nanti bila wajah itu sudah tak ada di situ...
Lakukan apapun yang bisa kamu lakukan untuknya...

LAKUKAN SEKARANG teman2ku sayang, bukan besok atau 5 menit lg karena mungkin sekedip matamu dia akan pergi tak kembali...
Klo sudah terlanjur ga ada, yaaahhh jangan lupa doa ma TUHAN. Segala macam doa deh. Miss U Mum...
Luv U all

Ini adalah mengenai nilai kasih Ibu dari seorang anak yang mendapatkan ibunya sedang sibuk menyediakan makan malam di dapur. Kemudian dia mengulurkan sekeping kertas yang bertuliskan sesuatu, si ibu segera membersihkan tangan dan lalu menerima kertas yang diulurkan oleh si anak dan membacanya.

Ongkos upah membantu ibu:
1) Membantu pergi ke warung: Rp20.000
2) Menjaga adik: Rp20.000
3) Membuang sampah: Rp5.000
4) Membereskan tempat tidur: Rp10.000
5) Menyiram bunga: Rp15.000
6) Menyapu halaman: Rp15.000
Jumlah: Rp85.000
Selesai membaca, si ibu tersenyum memandang si anak yang raut mukanya berbinar-binar. Si ibu mengambil pena dan menulis sesuatu di belakang kertas yang sama:
1) Ongkos mengandungmu selama 9 bulan: GRATIS
2) OngKos berjaga malam karena menjagamu: GRATIS
3) OngKos air mata yang menetes karenamu: GRATIS
4) Ongkos khawatir krn memikirkan keadaanmu: GRATIS
5) OngKos menyediakan makan minum, pakaian dan keperluanmu: GRATIS
Jumlah Keseluruhan Nilai Kasihku: GRATIS

Air mata si anak berlinang setelah membaca. Si anak menatap wajah ibu, memeluknya dan berkata, "Saya Sayang Ibu". Kemudian si anak mengambil pena dan menulis sesuatu di depan surat yang ditulisnya: "Telah Dibayar".

Ibumu adalah
Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan

(Emha Ainun Najib)

Sabtu, Januari 8

Raja Gombal Pelatih Timnas Malaysia...

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

Mau Liat Pelatih Timnas Malaysia (Raja Gombal)yang mengasuh Pemain sepak bola malaysia mengalahkan Timnas Indonesia saat final Piala AFF 2010 lalu...???Ini dia:





Gimana...??ha...ha...ha...

Jayalah terus Sepak bola Indonesia...!!

Kontrak Belajar Sebatas Janji

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

Dosen adalah pembimbing mahasiswa dalam mengarungi dunia keilmuan di kampus. Karena itu, dosen harus arif, jangan mengedepankan kepentingan pribadi, lalu meninggalkan mahasiswa begitu saja.

Dosen punya kuasa penuh atas mahasiswa. Dosen berhak menentukan dan mengatur jadwal serta kepentingan selama kuliah. Namun kesepakatan seperti kontrak belajar, dari waktu masuk kuliah hingga tingkat kehadiran, terkadang sebatas janji, sulit terealisasi. Muncul kesan, kesepakatan hanya berlaku bagi mahasiswa. Namun tidak bagi dosen.

Tak jarang dosen absen dalam perkuliahan. Entah dengan bermacam alasan atau banyak kegiatan di luar. Tak pelak, banyak waktu mahasiswa jadi kurang berguna. Dampaknya, mahasiswa pun telantar.

Ketakhadiran dosen jelas menghambat karena materi kuliah menumpuk. Sisa waktu singkat tentu tak layak untuk menyelesaikan materi secara maraton karena bisa mengabaikan penguasaan materi. Nilai-nilai yang seharusnya jadi pijakan mahasiswa untuk lebih berwawasan pengetahuan tak terwujud. Padahal, kuliah adalah salah satu media perkembangan keilmuan mahasiswa.

Belajar dengan sistem kebut jelas-jelas pembodohan bagi mahasiswa. Mahasiswa bukan diajar mengerti dan memahami ilmu, melainkan dilatih menyelesaikan materi secara tergesa-gesa. Salah satu landasan pembenaran sistem itu adalah orientasi nilai. Sebab, nilai dianggap kebutuhan penting penambah indeks prestasi. Jadi mahasiswa akan melakukan apa pun saran dosen, entah dengan belajar sistem kebut atau cara lain.

Kemurahan saat memberikan nilai dianggap solusi tepat untuk mengatasi tindakan dosen yang sering bolos mengajar. Mereka memakai hak kuasa dengan memberi nilai sebaik mungkin.

Jika nilai sebatas simbol keaktifan, sedangkan substansi ilmu dalam kuliah terletak pada pembelajaran untuk membentuk karakter mahasiswa sehingga berwawasan luas, jangan harap nilai mampu mengatasi kebodohan mahasiswa.
Orientasi Nilai Untuk memperoleh nilai baik sangat mudah. Mahasiswa cukup hadir dalam setiap kuliah dan mengerjakan tugas secara bertanggung jawab. Namun nilai bagus belum tentu mencerminkan kecerdasan. Ketika mahasiswa mendapat nilai bagus, barangkali karena sudah menyelesaikan perintah dosen, dari tingkat kehadiran sampai membuat makalah, walau penguasaan materi biasa-biasa saja.

Sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah berorientasi nilai. Ujian nasional, misalnya, sampai sekarang belum mampu menjawab problematika pendidikan di negeri ini. Walau ujian nasional untuk meningkatkan mutu pendidikan, tetap saja anak didik belum menunjukkan kualitas terbaik.

Mutu pendidikan kita masih kalah dari negara-negara tetangga. Namun pemerintah tetap memberlakukan peraturan itu. Padahal, pendidikan tahap akhir yang berorientasi nilai tak bisa menciptakan kualitas manusia yang beradab dan berwawasan luas. Sebab, tak ada perhatian terhadap penguasaan materi. Mereka hanya mengejar target nilai. Untuk memperoleh nilai bagus, mereka pun menghalalkan segala cara.

Selama ujian nasional, banyak pihak berlaku curang. Sebab, nilai menjadi sesuatu yang melebihi segalanya. Padahal, nilai sangat mungkin direkayasa. Lain dari kecerdasan yang bersifat abstrak dan sulit direkyasa.

Jadi dalam mendidik mahasiswa, dosen seharusnya memperhatikan aspek lahiriah dan batiniah. Aspek lahiriah bisa dilihat dari seberapa jauh mahasiswa mampu menguasai materi kuliah.

Aspek batiniah lebih menekankan pada penerapan ilmu dalam kehidupan nyata. Untuk menguasai kedua aspek itu butuh kepedulian terhadap anak didik. Jangan sampai dosen pergi begitu saja saat semestinya mengajar. Kata pepatah, waktu adalah uang dan waktu adalah pedang. Bila tak menggunakan waktu dengan baik, seseorang bisa merugi dan celaka. Jadi nilai jelas bukan solusi yang tepat, melainkan hanya rekayasa untuk menutupi kebodohan.

Senin, Januari 3

Mahasiswa, Wisuda, dan Pengangguran

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم


DALAM prosesi wisuda sering dinyanyikan bermacam-macam lagu, dari “Indonesia Raya”, mars dan himne Kampus, lagu nasional, hingga pop kontemporer sebagai suplemen.
Mahasiswa pun terhanyut karena bangga dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi (PT) di tengah kemerebakan komersialisasi pendidikan. Muncul pula keangkuhan karena menganggap dengan gelar Sarjana bakal gampang meraih segalanya. Mereka beranggapan, ijazah adalah ikon penghasil kehidupan.Muncul angan-angan melampaui tarajji dan tamanni di hati seluruh sivitas akademika. Pihak kampus pun terlena dengan pesta besar dunia kampus.
Padahal, saya membayangkan saat wisuda, paduan suara mahasiswa sebaiknya menyanyikan lagu “Sarjana Muda” karya Iwan Fals. Itu penting. Mengapa?Tujuannya, agar mahasiswa merenung sejenak: selanjutnya hendak berlayar ke mana? Jajaran dan segenap sivitas akademika pun semestinya bersikap realistis; tak terlena dalam euforia mahasiswa yang hendak diwisuda.Sarjana yang diceritakan Iwan Fals dalam lagu “Sarjana Muda” merupakan renungan mendalam dan bermakna. Namun agaknya lagu hit yang dirilis tahun 1981 dalam album Sarjana Muda itu tergolong najis mughalladzah dinyanyikan saat wisuda karena liriknya berisi paradoks dan ironi.Lumrahnya, sarjana yang pintar (diukur dengan IPK tinggi, lulus cepat atau tepat waktu) cepat pula terserap di dunia kerja.
Namun “Sarjana Muda” menggambarkan betapa sarjana pintar justru sulit memperoleh pekerjaan. Padahal, dia sudah berjalan gontai tak tentu arah, sambil menatap awan berarak dengan wajah murung. Jaket pun lusuh bercampur keringat dan debu jalanan.
Sang sarjana putus asa dan berkata, “Maaf, Ibu.” Sebab, dia merasa gagal membahagiakan sang ibu yang menyekolahkan bertahun-tahun (Iwan Fals, 1981).
Lirik itu jelas berbanding arah dengan suasana dalam prosesi wisuda.
Rektor,Ketua atau Direktur dengan percaya diri maju ke podium, memberikan sambutan, pengarahan, lantas memimpin pengucapan ikrar alumni untuk selalu menjaga nama baik almamater. Semua dikondisikan serba sempurna, seolah-olah setelah wisuda, para wiisuda bisa langsung berkiprah di dunia praksis yang (konon) merupakan pengabdian pada bangsa dan negara Faktanya tidak demikian. Seusai diwisuda, mayoritas sarjana menambah angka penganggur terdidik dengan grafik berfluktuasi setiap tahun.
Tentu perguruan tinggi menginginkan lulusan berkualitas, tak latah pada sisi jumlah. Namun, selain ketidaktahuan tentang sistem pendidikan selama ini asimetris dengan paradigma dunia kerja, kampus juga setengah hati memfasilitasi alumnus. Setelah mengobral, memperoleh untung,berkuranglah tanggung jawab PT.Beberapa kampus memang membentuk study advisory centre (SAC), semacam badan yang mengurusi dunia kerja dan membuka jaringan antara perusahaan, kampus, dan alumnus. Namun kebanyakan fasilitas itu sekadar formalitas. Kondisi itu membuat kampus berkesan “lepas tangan” atas nasib alumnus.
F Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas (2005), mengutip sastrawan Bulgaria pemenang Nobel tahun 1981, Elias Canetti, mengajukan deskripsi untuk memahami makna ketakbermaknaan feses (kotoran manusia).Kita tak ingin melihat benda yang pernah jadi bagian dari diri kita itu. Relasi antara sarjana yang tak beruntung dan PT layaknya manusia dan feses. Pada awal penerimaan mahasiswa baru, banyak PT bersemangat mempromosikan diri agar diminati calon mahasiswa.Jika jalur penerimaan resmi (SNMPTN, PMDK) ditutup, mereka pun berinovasi untuk merekrut mahasiswa baru, dari seleksi lokal tahap I, II, III, atau bahkan IV. PT bernafsu menerima sebanyak mungkin mahasiswa.Kemunculan berbagai cara yang mengarah ke pelanggaran etika akademik untuk memenangi persaingan itu menunjukkan, pendidikan kini cenderung jadi ajang bisnis. Akibat terlalu gampang menerapkan sistem input, proses “metabolisme” di PT berjalan tak sempurna. Dan, akhirnya banyak yang terbuang.Karena itu, ucapan Iwan Fals, “Engkau sarjana muda, lelah mencari kerja/Sia-sia ijazahmu/Empat tahun lamanya bergelut dengan buku Ö..”, tak ubahnya kotoran dari industri pendidikan yang tak hendak lagi dilihat oleh PT yang meluluskan karena dianggap tak berguna.
Padahal “sekotor” apa pun, sarjana tak beruntung itu pernah jadi bagian dalam proses “metabolisme” di perut industri pendidikan tinggi. Bagaimana, kelak, nasib sarjana?.