Ads 468x60px

Jumat, Oktober 22

WASPADA: GERAKAN (MENGAKU) MAHASISWA

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم Demonstrasi mahasiswa menjadi lambang sebuah ketidakpuasan, suara rakyat yang tertindas oleh berbagai kebijakan penuh dosa dari pemerintah. Pemicu munculnya makna tersebut salah satunya adalah ketika penggunaan kata “mahasiswa” diikutsertakan dalam pembahasan. Seolah kata tersebut merupakan kata yang mewakilkan kepentingan yang disanding oleh rakyat kalangan bawah. Apabila mendengarnya kita akan membayangkan seorang intelektual dengan hati nurani yang bersih. Rela turun ke jalan untuk menyuarakan ketidakadilan yang banyak dirasakan. Tetapi perlu direnungkan kembali persepsi tersebut.
Mahasiswa sebagai seorang “maha” dimaknai sebagai individu-individu yang membawa logika dan retorika dalam usaha memiliki modal untuk hidup. Kedua hal yang telah dimiliki tersebut kemudian dirangkai menjadi satu dengan semangat luhur yang menjadi senjata dalam tugas mengontrol berputarnya kehidupan bernegara. Bangsa ini harus berterima kasih kepada mahasiswa sejak awal pergerakannya dalam melawan penindasasan asing pada era 1908, hingga menumbangkan almarhum bapak pembangunan. Bagaimana hari ini?
Ciamik, itulah kata yang tepat jika mau melihat gelut politik di Tanah Air belakangan. Mengapa? Bisa disaksikan dari mereka yang duduk di “gunung kembar”, terlebih apabila kita melirik muda-mudi yang berasal dari kampus. Ramai-ramai bersaksi dan beraksi pada usaha mengkoreksi sampai usaha meruntuhkan pemerintahan SBY-Boediono pada 100 hari-nya. Banyak yang berpendapat aksi tidak maksimal. Walaupun diikuti oleh ribuan orang, tetapi seolah hanya menjadi sebuah berita yang tidak layak disimak dan tangkap pesannya secara berkelanjutan. Aksi tersebut belum memunculkan “musuh” bersama atas dasar kepentingan rakyat, semua hanya kokoh diatas kaki sendiri.
Dalam hal ini tidak adanya kesamaan isu sebagai amunisi menjadi salah satu penyebabnya. Jika melihat tersebut mungkin keprihatinan memang harus dialamatkan kepada mahasiswa dan gerakannya. Ketidaksamaan tersebut merupakan cermin dari rendahnya kualitas konsolidasi atas dasar kepentingan rakyat . Ucapkan saja selamat tinggal pada slogan “turunkan harga sembako”, karena kini itu bukan jamannya. Yang diusung saat ini isu-isu yang lebih populis dan menggebrak, contohnya adalah peluru pemakzulan yang gagal meletus. Tidak ada urusan rakyat yang harus dibawa selain presiden harus turun.
Hal ini harus menjadi renungan kita, mahasiswa, secara bersama. Ada mereka yang menjadi biang keladi tidak terbawanya hati nurani yang memperjuangkan
rakyat. Sekarang banyak yang mengaku aktifis mahasiswa, tetapi sesungguhnya pragmatisme yang bersarang di jiwanya. Bahkan ada sebagian dari kita menjual idealismenya, dibayar untuk melakukan sesuatu di dalam kampus dengan membentengi diri dengan kata yang akrab dengan nuansa perjuangan mahasiswa. Topeng berbentuk kelompok belajar serta organisasi intrakampus. Tak pelak hal itu menjadi sebuah penyakit di dalam tubuh gerakan. Dimanfaatkan berbagai kalangan yang hanya tenang dan senang.
Idealisme sekarang menjadi sebuah komoditas yang laris. Sayangnya hal ini juga turut dilestarikan oleh kalangan mahasiswa sendiri. Jiwa-jiwa muda di ajak serta dalam memperjuangkan kepentingan perebutan kekuasaan. Terlepas penguasa yang menggantikan memperjuangkan kepentingan bangsa atau tidak, mahasiswa sebagai parlemen jalanan tidak harus mengotori tangannya dengan ikut ambil bagian dalam gelut masygul politik praktis.
Perbedaan asal sampai ideologi sesungguhnya dapat hilang apabila kita menghilangkan kepentingan pribadi dan kelompok. Ini sesungguhnya bukan merupakan guratan yang harus menimbulkan ketidakpercayaan di dalam tubuh gerakan. Tulisan ini merupakan refleksi atas apa yang telah kita lakukan belakangan, tentu saja atas nama gerakan. Harumnya sebuah keberhasilan dan kekuasaan.

Sabtu, Oktober 16

Menulis Jadi Kebutuhan Pokok

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم WACANA mengenai gerakan menulis terus digulirkan mahasiswa dan untuk mahasiswa. Wacana itu dilontarkan secara lisan, tulisan, atau disampaikan melalui media massa.Menulis jadi penting bagi mahasiswa, karena melatih dan mengonstruksi pemikiran agar lebih kritis dan kreatif.Itu membuat tulis-menulis penting disematkan pada mahasiswa yang notabene calon pemimpin bangsa. Menulis juga tolak ukur bagi kemampuan dan pengetahuan mereka dalam meneruskan atau mengubah masa depan.Gerakan menulis terus digulirkan mahasiwa yang sadar diri akan keadaan mahasiswa di sekitar yang enggan menulis. Keengganan itu diperkuat berbagai dalih. Dalih mereka ungkapkan secara kuat, namun tak wajar. Dan, dalih “keengganan” menulis dikaitkan dengan keadaan psikologis, ekonomis, sosial, dan budaya.
Kemauan dan kemampuan menulis mahasiswa yang masih rendah bukan hanya karena ketenangan untuk tak mengucap diri secara lisan dan tulisan. Namun, mahasiswa belum “mau” mengajukan dan mengeksplorasi pertanyaan yang berkait dengan ruang dan waktu. Kalaupun mau dan mampu mengajukan pertanyaan, mahasiswa enggan mencari informasi yang berhubungan dengan pertanyaan itu.Memprihatinkan Padahal, itu kebutuhan vital bagi mahasiswa yang hendak menulis.
Melahirkan karya tulis memang sangat penting di lingkungan kampus. Sebab, mutu pendidikan setiap lembaga perguruan tinggi didukung integritas ilmiah mahasiswa dan dosen. Mahasiswa dan dosen adalah satu kesatuan dengan peran aktif yang tak bisa dipisahkan demi memajukan perguruan tinggi. Karena itu salah satu pemacu dan indikasi perguruan tinggi dikatakan maju atau tidak dapat dilihat dari kreativitas tulis-menulis di kampus tersebut.
“Produksi” tulis-menulis bisa mewujud dalam olah karya tulis yang terpublikasi, baik buku, jurnal, majalah dinding, maupun media massa (koran). Iklim intelektualisme di kampus sejatinya dibangun secara serempak dengan melibatkan kreativitas dari pelbagai unsur penting sumber daya manusianya. Tak hanya mahasiswa yang dituntut berkreatif menulis — sebagaimana selalu “diceramahkan” di kelas. Dosen juga perlu banyak menulis di pelbagai media.Seraya memantapkan hati dan pikiran, Mari bergegas menulis. Tuangkan segala yang ada di benak dan kepala ke dalam tulisan. Tak perlu berdalih “aku tidak bisa”. Semua pasti bisa, jika ada kemauan dan keberanian mencoba. Bukankah kegagalan dalam bereksperimen yang baik tidak berdosa?.
Manusia,menurut pendapat Feby Indriani (2006), memang makhluk yang suka berdalih. Ada tiga kelompok yang paling ahli berdalih, yakni pengacara, pengutang, dan orang yang ingin menulis.Pengacara dibayar karena kemampuan mereka berdalih.Pengutang menggunakan kemampuan berdalih untuk menghindari kewajiban membayar.Dan, sepertinya cuma kelompok ketiga yang tak memperoleh apa pun dari berdalih, selain perasaan gagal dan makin tak berdaya.Feby menuturkan begitu banyak orang menyatakan ingin menulis. Begitu banyak pula alasan mereka berikan untuk menjawab pertanyaan: mengapa belum juga menulis. Jadi, sebenarnya, tak ada alasan untuk tidak menulis.

Menulis apa saja! “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Itulah sebuah hadis yang sering kita dengar. Perintah teologis itu diperkuat oleh kata-kata iqra (bacalah) dalam salah satu ayat di kitab suci. Sebab, dengan menulis ada dua hal secara bersamaan mesti diperoleh sang penulis: bernalar kritis dan giat membaca.

Kamis, Oktober 14

MENIMBANG KEDEWASAAN MAHASISWA

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم A
Aksi partisipatioris mahasiswa adalah kontribusi penting bagi tegaknya demokrasi.Mahasiswa memiliki tanggung jawab mengawal perjalanan demokrasi.Namun,ketika peran itu diaktualisasikan dengan cara serampangan,masihkah peran mahasiswa menemukan relevansinya?
Sadar atau tidak,terkadang mereka menyuarakan aspirasi melalui cara yang kurang tepat.Tidak sedikit kasus anrkisme massa meledak saat mahasiswa turun ke jalan.
Jika tidak disikapi dengan arif,bentrokan yang tidak hanya satu kali meledak itu selanjutnyta akan melahirkan konflik yang tak kunjung usai.
Kesalahan terbesar yang acap terjadi adalah aspirasi nilai-nilai demokrasi dipraktikan secara nondemokratis,sporadis dan cenderung amoral.Substansi demokrasi justru mengalami ketimpangan jika ide-ide original yang menyuarakan demokrasi disalurkan dengan jalan kekerasan,amuk masa bahkan pembasmian (genicode).Ini adalah praktik demokrasi yang dalam pandangan Hedar Nasir,potensial mewabahkan krisis kemanusiaan.
Dalam situasi inilah kedewasaan Mahasiswa teruji,bagaimana mereka mimbingkai masalah secara rasional,objektif dan proposional.Konflik yang muncul harusnya ditilik secara arif.Disaat seperti inilah kepiawaian menindai masalah menemukan momentumnya.
Akan ironi ketika cara menghadapi masalah ini mengesampingkan etika demokrasi yang seharusnya menjadi ruh bagi setiap model partisipatioris.

Jumat, Oktober 1

Berani Menjadi Pemimpin

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم Menjadi pemimpin bisa meneguhkan biografi diri seseorang. Menguatkan dirinya sebagai yang berada, tak sebatas ada. Namun status tersebut selalu menghadirkan tantangan sekaligus harapan. Baik dalam proses pencapaian status tersebut maupun dalam proses kreatifnya. Pemimpin selalu menjadi yang terdepan; menerima efek positif dari lakunya, atau juga sebaliknya, menanggung resikonya.
Menjadi pemimpin bukanlah hal yang mudah. Sebab sikap-sikap kepemimpinan diperoleh bukan dari bakat sejak lahir, ataupun dengan mempelajarinya selama beberapa jam pertemuan. Sikap kepemimpinan merupakan sebuah proses yang terus menerus dalam tahap menjadi. Jadi sikap kepemimpinan dalam diri seseorang bukan sesuatu yang sifatnya pasti, tetap atau juga stagnan. Sikap itu terus membangun diri melalui serangkaian tempaan, sejalan dengan semakin matangnya pola pikir serta kedewasaan sikap.Sikap itu bukan sesuatu yang bisa mencapai tahap finish. Serangkaian proses yang tak pernah usai tersebut menjurus pada satu tujuan, menjadi pemimpin yang sesungguhnya. Lalu, bisakah seseorang menjadi pemimpin yang sesungguhnya?

Pemimpin yang sesungguhnya atau lumrah disebut sebagai pemimpin ideal dalam arti paling purba adalah seorang pemimpin yang mampu menjalankan fungsi dan perannya, yang tak lain adalah mengatur. Setidaknya dalam ranah ideologis memang demikian, namun akan memperoleh perluasan jika dibenturkan dalam ranah praktis. Dibenturkan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Apa yang diajarkan Ki Hajar Dewantara setidaknya bisa menjawab permasalahan ini. Seorang pemimpin adalah; Ing ngarso sung tuladha (di depan sebagai contoh), ing madya mangun karso (di tengah memberi semangat), tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan). Pengertian ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin jauh dari sikap pemanfaatan kekuasaan untuk memerintah seenaknya.
Menjadi seorang pemimpin ideal memang sulit dan memerlukan proses belajar yang panjang, namun bukan berarti tidak mungkin. Pada dasarnya manusia adalah pemimpin, setidaknya menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Hal ini sejalan dengan idiom bahwa tiap manusia akan menanggung sendiri dari apa yang telah ia lakukan. Jadi di sini manusia dituntut untuk bisa mengontrol dirinya agar tetap pada koridor dan nilai-nilai tertentu.

Tantangan dan Harapan
Namun seorang pemimpin baru akan benar-benar memperoleh tantangan jika dia menjadi pemimpin dalam organisasi atau kelompok tertentu. Sebab di sini dia juga bertanggung jawab bukan hanya pada apa yang dia lakukan, tapi juga apa yang dilakukan oleh anggotanya. Lebih dari itu, juga bertanggung jawab atas tercapai atau tidaknya tujuan tertentu. Sehingga filosofi hidup yang diutarakan Ki Hajar Dewantara di atas sekaligus merupakan tantangan untuk menjadi seorang pemimpin yang ideal.

Di depan sebagai contoh, artinya selain ia menjalankan tugas pokok sebagai pemimpin, ia juga harus mampu bersikap positif, mampu memberikan positif impact, sehingga ia layak untuk menjadi "bahan" percontohan sikap dan prilaku bagi liyan (the other) yang tak lain adalah para anggotanya. Selanjutnya, di tengah memberi semangat, artinya dalam aktifitas untuk mencapai tujuan, seorang pemimpin tidak melulu mengatur, pemimpin harus mampu memberikan sentuhan-sentuhan penyemangat agar para anggota juga tidak merasa diperas, ditekan dalam aktifitasnya. Ketiga, di belakang memberi dorongan, di sinilah seorang pemimpin tidak selalu dalam posisi di depan dalam derap langkah sebuah aktifitas. Seorang pemimpin yang ideal harus mampu dan mau “turun tahta” untuk sementara waktu, untuk membaur bersama anggota dan memberikan dorongan-dorongan di saat mereka dalam keadaan lemah, fisik atau pun mental. Sikap-sikap tersebut mencerminkan sikap luwes (transformatif) pada diri pemimpin. Dia mampu memerankan berbagai adegan dalam kancah aktifitas berorganisasi.

Selain sikap sekaligus tantangan bagi pemimpin ideal di atas, pemimpin juga diharapkan mampu menjalani komunikasi dengan baik. Komunikasi adalah sebuah penengah (medium) antara pemimpin dan anggota. Hemat penulis, terjalinnya komunikasi yang baik, akan tercipta pula iklim harmonis dalam organisasi tersebut. Sehingga sangat wajar jika Marshal Mc. Luchan mengatakan, "medium is power". Komunikasi adalah kekuatan sekaligus kekuasaan. Atau dengan ekstrim Cicero mengatakan "tak ada yang satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau dapat diperbaiki dengan kata-kata", di mana kata adalah moda utama komunikasi. Namun harus diakui untuk mencapai sikap-sikap itu butuh proses panjang. Sehingga muncul pertanyaan yang cenderung politis, mengapa seseorang ingin jadi pemimpin? Pertanyaan ini akan terjawab jika tujuan sekaligus harapan menjadi pemimpin terjawab.

Secara internal, harapan sekaligus tujuan seseorang untuk memimpin, jika meminjam istilah Friedrich Nietzche adalah adanya kehendak untuk berkuasa (the will to power). Bakat alami yang dimiliki oleh manusia adalah keinginannya untuk menguasai. Kehendak untuk berkuasa di sini dapat dirumuskan sebagai kekuatan yang memerintahkan tanpa adanya suatu pasivitas. (St. Sunardi, 2009: 63). Harapan ini mengandaikan orang lain agar mengatakan "Ya" atas ide, perkataan, hingga laku kita. Di sinilah persepsi mengenai pemimpin menemui definisi banalnya, memerintah. Menjadi pemimpin itu mudah karena hanya memerintah.

Selain itu, menunjukkan eksistensi juga menjadi tujuan seseorang menjadi pemimpin. Jika mengacu pada teori Abraham Moslow, maka menjadi pemimpin adalah jalan untuk memenuhi kebutuhan akan eksistensi diri. Meneguhkan biografi diri dalam pergolakan di panggung dunia. Sebab efek yang tak disadari dari seorang pemimpin adalah menjadi populer.

Dua faktor esensial inilah yang menjadikan seseorang ingin dan berani menjadi pemimpin. Namun yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana kita memimpin dengan baik.