Ads 468x60px

Sabtu, November 28

SIAPA YANG LEBIH KAYA?

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
Mungkin anda semua sudah pernah membaca, tapi di hari'Idul Adha sangat pas untuk membaca kembali, cerita dari Jojo Wahyudi di bawah ini .......

Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan Qurban.
Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku,
dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan.
Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya
bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali anak-anak yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan di-Qurban-kan pada Idul Adha nanti, sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini tentang pengorbanan NabiAllah Ibrahim & Nabi Ismail.

Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi
memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti.
Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang,
ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.

” Berapa harga kambing yang itu pak ?” ujarku menunjuk kambing coklat tersebut.

” Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah tidak kurang” kata si pedagang berpromosi matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.

” Tidak bisa turun pak?” kataku mencoba bernegosiasi.

” Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal” si
pedagang bertahan.

” Satu juta lima ratus ribu ya?” aku melakukan penawaran pertama

” Maaf pak, masih jauh.” ujarnya cuek.

Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya.

” Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu?” kataku
” Masih belum nutup pak ” ujarnya tetap cuek
” Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?” ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.

” Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa datang ke sini sendiri. Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput” kata si pedagang meledek.

Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga selain yang sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus ribu.
Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban
mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang harganya kini selangit.

” Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?” kataku kemudian
” Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah” katanya
Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi.
Meskipun pakaian “korpri” yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.

” Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?” katanya kagum
” Dua juta tidak kurang tidak lebih kek.” kata si pedagang setengah
malas menjawab setelah melihat penampilan si kakek.
” Weleh larang men regane (mahal benar harganya) ?” kata si kakek dalam bahasa Purwokertoan ” bisa di tawar-kan ya mas ?” lanjutnya mencoba negosiasi juga.
” Cari kambing yang lain aja kek. ” si pedagang terlihat semakin malas
meladeni.
” Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing apik lan gagah Qurban taun iki
(Aku mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini) Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk) mbayar koq mas.” katanya tetap
bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di bukanya, enam belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh ribuan dikeluarkan dari dalamnya.
” Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse (kambingnya) dianter ke rumah ya mas?” lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.

Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya sejak tadi. Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima uang yang disodorkan si kakek, kemudian di hitungnya perlahan lembar demi lembar uang itu.

” Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah” si pedagang mengeluarkan
selembar lima puluh ribuan
” Ora ono ongkos kirime tho…?” (Enggak ada ongkos kirimnya ya?) si
kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih
” Dua juta sudah termasuk ongkos kirim” si pedagang yg cukup jujur
memberikan lima puluh ribu ke kakek
” mau di antar ke mana mbah?” (tiba-tiba panggilan kakek berubah menjadi mbah)

” Alhamdulillah, lewih (lebih) lima puluh ribu iso di tabung neh (bisa
ditabung lagi)” kata si kakek sambil menerimanya ” tulung anterke ning deso cedak kono yo (tolong antar ke desa dekat itu ya),
sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid Baiturrohman, takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo pensiunan pegawe Pemda Pasir Mukti, InsyaAllah bocah-bocah podo ngerti (InsyaAllah anak-anak sudah tahu).”

Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah di sepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang di sandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari X-Trail
milikku. Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap di kayuhnya tetap dengan semangat.

Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku.
Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol, sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya.
Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek.
Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang
berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan.
Yang pasti secara materi, sangatlah jauh di banding penghasilanku
sebagai Manajer perusahaan swasta asing.
Yang sanggup membeli rumah di kawasan cukup bergengsi Yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga ban-nya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super Yang sanggup mempunyai hobby berkendara moge (motor gede) dan memilikinya Yang sanggup membeli hewan Qurban dua ekor sapi sekaligus

Tapi apa yang aku pikirkan?
Aku hanya hendak membeli hewan Qurban yang jauh di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service rutin mobil X-Trail, kendaraanku di dunia fana.
Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya.

Ya Allah, Engkau yang Maha Membolak-balikan hati manusia
balikkan hati hambaMu yang tak pernah berSyukur ini

Minggu, November 22

WORTEL,TELOR DAN KOPI

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api.

Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api.

Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.

Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?”
"Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak.

Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras.

Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. Setelah itu, si Anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?”

Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi ‘kesulitan’ yang sama, melalui proses perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.

“Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?” Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.”

“Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan maka hatimu menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?”

“Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat.”

“Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.”

“Ada raksasa dalam setiap orang dan tidak ada sesuatu pun yang mampu menahan raksasa itu kecuali raksasa itu menahan dirinya sendiri”

MEJA KAYU,KAKEK DAN ANAK CUCU

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orang tua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih. Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orang tua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak.

Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. “Kita harus lakukan sesuatu,” ujar sang suami. “Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk Pak Tua ini.” Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, sang Kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si Kakek.

Sering, saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada air mata yang tampak mengalir dari gurat keriput si Kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi. Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam.

Suatu malam, sebelum tidur, sang Ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. “Kamu sedang membuat apa?”. Anaknya menjawab, “Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan.” Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki. Malam itu, mereka menuntun tangan si Kakek untuk kembali makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama.

Minggu, November 8

MENGAPA KITA TAK BISA JUJUR...?

بِسْمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
September 1971. Kapolri Hoegeng mengumumkan tentang keberhasilannya membekuk penyelundupan mobil mewah lewat Pelabuhan Tanjung Priok. Mobil-mobil itu dimasukkan oleh Robby Tjahyadi dengan perlindungan tentara, dan dilaporkan Ibu Tien terlibat pula.

Bukan pujian yang didapatnya, melainkan pemecatan dirinya sebagai Kapolri. Sebelum itu, Hoegeng mendapat tawaran untuk menjabat sebagai Duta Besar di Belgia melalui Menhankam Jenderal M. Panggabean.

Dalam buku yang ditulis Ramadhan KH, diceritakan Hoegeng dipanggil Presiden Soeharto. “Lho bagaimana Mas, mengenai soal Dubes itu?” tanya Soeharto. “Saya tak bersedia jadi dubes, Pak. Tapi, tugas apa pun di Indonesia, akan saya terima.” Presiden bilang, “Di Indonesia tak ada lagi lowongan, Mas Hoegeng.” Saya pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja.” Mendengar itu, ia diam. Saya juga diam. Mau ngomong apa lagi? Setelah kurang lebih setengah jam pertemuan, saya pun pamit.

Kejujuran yang dijunjung tinggi, membuat Hoegeng berani pada siapa pun. Pernah, saat memimpin operasi antikebut-kebutan di sekitar Taman Soerapati, awal 1970-an, Hoegeng berkata kepada anak buahnya: “Tangkap saja anak-anak muda yang nakal itu! Kalau bapaknya sok ikut campur, nanti saya yang akan hadapi sendiri!”

Jauh sebelum itu, kejujuran mantan Menteri Negara Urusan Iuran dalam Kabinet Seratus Menteri itu diuji saat ditempatkan di Sumatera Utara. Ketika itu, ia diangkat sebagai Kepala Reserse dan Kriminal di Medan, yang terkenal sebagai tempat pedagang Tionghoa yang punya hobi menyuap pejabat. Namun, Hoegeng tak bisa disuap. Rayuan wanita cantik, dunia judi, korupsi, tak kuasa menjebol benteng kejujurannya.

Nama Hoegeng tiba-tiba saja terlintas di benak saya saat Polri memenjarakan dua pimpinan KPK non aktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. Sejak awal, aroma rekayasa begitu kuat tercium. Orang awam sekalipun akan dengan mudah menyimpulkan bahwa Polri berusaha mengerdilkan KPK. Terlebih dengan adanya dugaan terlibatnya salah satu petinggi mereka dalam kasus Bank Century. Ini membuat Polri sangat berkepentingan melindungi petinggi mereka dari incaran KPK.

Jika kita mau jujur, ketakjujuran Polri pun sebenarnya juga terjadi pada kasus pemberantasan teroris. Dengan mudah kita akan menemukan beragam kejanggalan. (Lihat tulisan saya dalam Jurnalisme Teror I dan II di www.eramuslim.com).

Potret ketidakjujuran Polri sejatinya juga dimiliki oleh para pemimpin kita. Pembelaan membabibuta dari berbagai pihak terhadap penangkapan Bibit dan Chandra kian menegaskan itu. Berbagai komentar dukungan yang sangat menggelikan terlontar, bahkan dari seorang presiden. “Saya tak paham kriminalisasi KPK,” kata SBY. Terserah Anda mau percaya atau tidak, namun satu hal yang pasti kejujuran kian langka di negeri ini. Kejujuran menjadi barang mewah. Tak lagi dimiliki oleh kebanyakan pemimpin kita.

Dulu, dalam sejarah Islam, kita mengenal kisah legendaris tentang Umar bin Khathab. Suatu hari tubuh kekar Umar gemetar. Rasa takut menjalari badannya. Persendiannya terasa lemah. Singa Padang Pasir itu kemudian menangis. Airmata mengalir dari kelopak matanya. Sang Khalifah terharu saat berdialog dengan seorang anak gembala yang dijumpainya dalam perjalanan dari Madinah menuju Mekkah.

Ketika itu, Umar bertanya untuk menguji kejujuran anak tersebut. ’’Wahai anak gembala, jual kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu itu!’’ ujar Amirul Mukminin. ’’’Aku hanya seorang budak,’’’’ jawab si gembala. Umar bin Khattab berkata lagi, ’’’’Katakan saja nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala.’’

Anak gembala tersebut diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin, lalu keluar dari bibirnya perkataan yang menggetarkan hati sang Khalifah: ’’Jika Tuan menyuruh saya berbohong, lalu di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa siksa Allah itu pasti bagi para pendusta?’’

Jujur memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, bukan berarti itu tak mungkin dilakukan. Kuncinya adalah terus-menerus dilatih sehingga akhirnya menjadi kebiasaan. Muaranya, kebiasaan bertindak jujur akan menjadi karakter. Ada sebuah ungkapan bijak yang patut direnungkan:

Pikiranmu adalah ucapanmu Ucapanmu adalah tindakanmu Tindakanmu adalah kebiasaanmu Kebiasaanmu adalah karaktermu

Jujur memang masih sulit dilakukan oleh banyak orang. Namun, sesungguhnya, sifat mulia tersebut dirindukan kehadirannya. Simak, survei yang telah dilakukan oleh sebuah lembaga kepemimpinan internasional yang bernama The Leadership Challenge dengan melakukan survei karakteristik CEO (Chief Executive Officer) pada tahun 1987, 1995, dan 2002 yang dilakukan di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Eropa, dan Australia.

Masing-masing responden diminta untuk menilai dan memilih tujuh karakteristik CEO ideal mereka. Hasil survei tiga tahun berturut-turut itu ternyata menempatkan sikap jujur (honest) pada peringkat pertama (1987: 83 persen, 1995: 88 persen, 2002: 88 persen). Sesudah jujur, antara lain: berpikiran maju (forward looking), kompeten (competent), dapat memberi inspirasi (inspiring), cerdas (intelligent), adil (fair-minded).

Andai Hoegeng masih hidup, mungkin ia hanya bisa menangis sedih melihat negeri ini tak lagi memiliki pemimpin yang jujur.